TERKINI &
PROMO
Home >Artikel > Kesehatan Masyarakat > Kulinari Dietetika, Eksplorasi Rasa Sarat Makna

...

Kulinari Dietetika, Eksplorasi Rasa Sarat Makna

 Post date 1 Juli 2022


Pernahkah Anda mencicipi makanan untuk orang sakit? Biasanya ini terjadi saat kita sedang mendampingi anggota keluarga yang harus menjalani rawat inap. Ketika makanan disajikan dan mereka enggan untuk menyantap akibat kehilangan nafsu makan, kita pun lantas mencicipi hidangan tersebut. Lalu, komentar-komentar seperti ini terucap, “Enggak ada rasa. Yah, namanya makanan di rumah sakit.”
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa kualitas makanan untuk pasien di rumah sakit bisa jauh berbeda dengan makanan pada umumnya, terlebih yang dimasak oleh para juru masak hotel bintang lima, walaupun dengan menu yang sama? Hal ini disebabkan oleh perbedaan tujuan dalam penyajiannya. Makanan yang disajikan di hotel atau restoran dibuat dengan tujuan memuaskan panca indera, bahkan seringkali mengesampingkan aspek nutrisi. Sementara makanan untuk orang sakit dibuat dengan tujuan terapi bagi proses pemulihan tubuh. Tentunya dengan mengutamakan aspek nutrisi dan mengesampingkan kenikmatan pada panca indera. 
Lalu, apakah memungkinkan untuk membuat makanan bagi orang sakit dengan cita rasa yang lebih bisa dinikmati, hingga bisa menyerupai kelezatan makanan di hotel atau restoran? Jawabannya, mungkin. 
Dalam hal ini, kita memerlukan pendekatan kulinari dietetika. Kulinari berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan masakan atau proses memasak. Sementara arti dari dietetika adalah segala sesuatu mengenai pengaturan makanan (diet) dan zat gizi. Maka kulinari dietetika merupakan gabungan dari kedua hal tersebut, yaitu seni kuliner dan pengaturan makanan serta nutrisi. 
Pendekatan kulinari dietetika tentu sangat berguna, karena hidangan yang disajikan bisa lebih dinikmati. Selain itu, dalam arti yang lebih dalam, pendekatan ini akan membuat makanan yang disajikan lebih manusiawi. Melalui kulinari dietetika, orang sakit diperlakukan sebagai manusia yang bisa merasakan setiap hidangan yang disajikan, bukan sebagai objek dari terapi nutrisi. 
Walau jarang terdengar, pendekatan kulinari dietetika ternyata sudah lama diaplikasikan dalam dunia kesehatan, seperti tercatat pada sejarah kuliner dunia berikut ini. Di masa Grande Cuisine (1783-1833) dan Classique Cuisine (1846-1935), seni mengolah bahan makanan hanya dititikberatkan pada kenikmatan hasil masakan. Beririsan dengan episode Classique Cuisine, terdapat masa Nouvelle Cuisine (1897-1955), di mana seni mengolah masakan sudah mulai mempertimbangkan aspek nutrisi dan kesehatan, sehingga masakan dibuat lebih light atau ringan.  
Kira-kira lima tahun kemudian, dimulailah episode Minceur Cuisine (1960-an) yang dipelopori oleh Chef Michel Guerard, seorang koki dari Perancis. Ia bekerja sama dengan kementerian kesehatan dalam upaya pencegahan penyakit kardiovaskular, sehingga penekanan utamanya adalah bagaimana mengolah makanan dengan tujuan kesehatan tanpa mengorbankan kenikmatan, melalui modifikasi bahan dan teknik masakan, agar makanan yang dibuat dapat benar-benar menyerupai karakter aslinya. Di Indonesia sendiri, Gizi Kuliner dipelopori oleh Nutrisionis (Almh) Tuti Soenardi (1934-2018), pencipta resep healthy cooking, yang karya-karyanya sudah tersebar luas hingga sekarang. 
Dalam merancang menu dan mengolah makanan bagi pasien-pasien di Rumah Sakit UKRIDA, Tim Instalasi Gizi menjatuhkan pilihan pada prinsip yang digunakan oleh Chef Michel Guerard dan Tuti Soenardi. Namun, secara lebih detail, dibutuhkan sejumlah sudut pandang untuk merancang menu makanan bagi orang yang sedang sakit. Hal ini meliputi culinary and pastry art, pengetahuan cuisine, tata hidang, technique of healthy cooking, ilmu bahan makanan, kimia makanan, gizi klinis, biokimia gizi, anatomi fisiologi, patologi dan interaksi obat dan makanan, serta manajemen penyelenggaraan makanan. 
Memang kompleks, tapi tetap mungkin dilakukan melalui kolaborasi nutrisionis food and beverage production, chef, nutrisionis klinis, serta dengan mendengarkan masukan dari pramusaji yang berinteraksi langsung dengan pasien, terkait keluhan, harapan, dan keinginan perihal makanan yang disajikan. 
Misalnya pada pembuatan olahan pastry, penerapan kulinari dietetika membutuhkan usaha ekstra, terutama pada modifikasi formula dan teknik mixing karena terkait dengan kimia makanan. Sedikit saja dilakukan perubahan pada formula dan teknik mixing, maka tingkat kegagalan produk pastry lebih tinggi. 
Pada tingkat yang lebih advanced, penerapan kulinari dietetika dapat dikolaborasikan dengan molecular gastronomy yang melibatkan perubahan fisik dan kimia makanan. Dalam penyajiannya, kolaborasi ini dapat menghasilkan sensasi yang berbeda, yang tentunya dapat dirasakan oleh pasien. 
Terkait dengan layanan rumah sakit secara umum, ternyata ada hubungan antara kualitas makanan yang disajikan bagi pasien dengan tingkat kepuasan mereka terhadap layanan di rumah sakit tersebut. Dalam penelitian yang dilakukan pada tahun 2020 dan dimuat dalam National Health Service (NHS) Hospital Food Review, dinyatakan bahwa 65 persen pasien berpendapat bahwa kesan terhadap makanan yang disajikan mempengaruhi persepsi terhadap layanan rumah sakit tempat mereka dirawat. 
70 persen pasien mengatakan bahwa tampilan makanan mempengaruhi jumlah asupan makanan selama dirawat, sementara 48 persen pasien mengatakan tidak puas terhadap mutu makanan yang disajikan dan kualitas pelayanan makanan secara umum. Pasien menginginkan makanan dengan beberapa pilihan menu, walaupun dengan sejumlah pembatasan diet sesuai penyakit; makanan disajikan pada suhu yang tepat; minuman hangat dan snack selalu tersedia di luar makanan utama. 
Lalu, ada delapan alasan teratas mengapa pasien tidak menghabiskan makanannya, yaitu karena tampilan yang tidak menggugah selera, rasa yang kurang sesuai, suhu penyajian yang tidak tepat, tidak tersedia pilihan menu, mereka lebih menyukai makanan yang dibawa oleh keluarga, penyajian makanan terlalu awal atau terlambat, faktor kebudayaan, dan religi.
Dengan mempertimbangkan poin-poin penting yang telah disampaikan sebelumnya, maka Instalasi Gizi RS UKRIDA sebagai bagian dari pengembangan RS Pendidikan untuk Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UKRIDA, sedang menerapkan konsep kulinari dietetika dan berkomitmen untuk terus meningkatkan kualitas produk dan pelayanan makanan sesuai dengan nilai RS UKRIDA yaitu HEART (Honest, Eager, A*Star Value, Responsive, Teamwork). Ini dilakukan tidak lain untuk mencapai visi RS UKRIDA, yaitu “andal dalam skala regional dan nasional, tepercaya sebagai mitra kemanusiaan untuk menjadi sehat”. 
Salah satu tolak ukur mutu pelayanan Instalasi Gizi RS UKRIDA adalah sisa makanan pasien, karena berkaitan dengan kesan pasien terhadap mutu makanan dan kualitas layanan Instalasi Gizi. Di samping itu, semakin besar sisa makanan berarti semakin besar biaya yang terbuang percuma. Oleh karenanya, kami memandang penting sisa makanan setiap pasien yang dirawat dan berupaya semaksimal mungkin melalui pendekatan kulinari dietetika untuk menekan terjadinya hal tersebut. 
Kami sangat terbuka dengan masukan dari pasien, atau jika pasien memiliki kebutuhan tertentu terkait makanan. Di masa depan, kami berharap agar Instalasi Gizi RS UKRIDA mendapat kepercayaan yang lebih besar, bukan saja untuk melayani makanan demi tujuan pemulihan bagi orang sakit, tetapi juga untuk tujuan meningkatkan kebugaran dan performa olahraga, serta sebagai pusat penelitian dan pengembangan di bidang Gizi Kuliner di Indonesia.
Svasta Harena (sehat melalui makanan).*

*Artikel ini dipublikasikan di Buletin UKRIDA Impact Edisi 4 Juli-Agustus 2022

Penulis dan Foto Tim Instalasi Gizi RS UKRIDA Editor dan PJR Theresia J Christy
 
 


RS UKRIDA dinaungi oleh PT Upadana Krista Dipta Arjasa
Jl. Arjuna Utara No. 7G, Jakarta Barat