TERKINI &
PROMO
Home >Artikel > Kesehatan Masyarakat > Berbagi Kasih Natal: Hadir dan Melayani di Tengah Keterbatasan

...

Berbagi Kasih Natal: Hadir dan Melayani di Tengah Keterbatasan

 Post date 15 Desember 2022


Ibukota dengan segala pernak-pernik dan hiruk-pikuknya mungkin telah menjadi candu bagi sebagian orang. Kompetisi yang dihadapi setiap hari dan dimulai sejak kita melangkah keluar rumah, dibarengi dengan imbalan kesuksesan yang membayangi, tak ayal membuat para penganut hustle culture kian terpikat. 
Tentunya, situasi seperti ini tidak terjadi di setiap wilayah di Indonesia. Tak heran kalau arus perpindahan individu dari desa ke kota menjadi arus utama yang masih sulit dibendung. Sejumlah pembangunan yang telah dan masih dilakukan pemerintah hingga saat ini, tampaknya belum dapat mengatasi hal tersebut. 
Ini terbukti dengan terus bertambahnya jumlah penduduk di kawasan perkotaan, mulai tahun 2010 hingga saat ini, seperti data yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Agustus tahun lalu. BPS bahkan memprediksi kalau persentase penduduk di wilayah perkotaan akan terus bertambah menjadi lebih dari enam puluh persen, dalam tiga belas tahun ke depan atau pada tahun 2035. Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta masih menjadi primadona alias paling banyak didatangi oleh penduduk dari sejumlah daerah lain di Indonesia. 
Namun, pernahkah Anda berpikir untuk melawan arus utama, alias melakukan sesuatu yang anti-mainstream? Kalaupun belum secara permanen, setidaknya pernah mencoba, seperti yang telah dijalani dr. Brandon, Bidan Eva, dan dr. Zeska. 
Serupa dengan product disclaimer pada umumnya, dampak yang ditimbulkan dari membaca pengalaman mereka mungkin akan berbeda pada setiap pribadi. Bisa jadi ada yang tertarik, tertantang, atau bahkan terpanggil untuk mengabdikan diri di wilayah-wilayah terpencil di Nusantara; tapi mungkin ada yang biasa saja dan semakin yakin untuk menetap di perkotaan; atau mungkin juga saat ini tidak merasakan apapun, tapi di kemudian hari mulai menjadikan hal itu sebagai pilihan.  
Well, have a good read.
 
“Apa yang dikerjakan di rumah sakit tersebut adalah pekerjaan Tuhan” - dr. Brandon Clementius, Case Manager RS UKRIDA  
Sebelum bekerja di RS UKRIDA, tepatnya pada bulan Mei 2021 hingga Agustus 2022, saya melayani di sebuah rumah sakit misi bernama Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam. Lokasinya terbilang jauh dari ibukota provinsi. Untuk mencapai rumah sakit yang berlokasi di Jalan Raya Bengkayang Km 48, Dusun Anggrek, Desa Pasti Jaya, Kecamatan Samalantan, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, ini diperlukan waktu sekitar lima hingga enam jam dari Pontianak.
Sedikit cerita, daerah Serukam merupakan sebuah desa di bukit. Jalanan di sana sudah cukup bagus meski berkelok-kelok, karena harus melintasi area perbukitan. Pencahayaan jalan belum terlalu bagus, karena berasal dari rumah-rumah warga sekitar saja. Di sekitar tahun 1960-1970an, daerah ini cukup terisolasi, hingga pasien-pasien sempat harus diantar-jemput menggunakan pesawat kecil. Oleh karena itu, terdapat landasan pesawat di depan kompleks RSU Bethesda Serukam. 
Mata pencaharian utama masyarakat adalah bertani. Sebagian besar dari mereka bertani kelapa sawit, padi, dan jagung. Namun, khusus desa-desa di sekitar rumah sakit, banyak penduduk yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan. Sementara tingkat pendidikan masyarakatnya kebanyakan mencapai sekolah menengah atas (SMA) atau sekolah menengah kejuruan (SMK), untuk generasi yang sudah tua. Namun, generasi mudanya sudah mulai banyak yang mengecap bangku kuliah, baik itu diploma tiga (D3), maupun sarjana. Tidak sedikit yang memilih berkuliah ke luar daerah, seperti di Kota Pontianak atau bahkan ke Pulau Jawa. 
Kesadaran hidup sehat warga di Serukam bisa dikatakan cukup baik. Pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) pun sudah cukup aktif dalam melakukan pelayanan kesehatan ke warga. Namun, penyakit kronis seperti hipertensi dan diabetes mellitus, lalu penyakit infeksi seperti bronkopneumonia dan tuberkulosis (TBC) pada anak, masih banyak ditemui. RSU Bethesda Serukam bahkan beberapa kali melayani kemoterapi anak, karena saat itu menjadi satu-satunya rumah sakit di Kalimantan Barat yang melayani kemoterapi anak. 
Saya sendiri sudah sering mendengar mengenai rumah sakit ini sejak menjadi mahasiswa, khususnya dari teman-teman di persekutuan mahasiswa Kristen. Mereka bilang, RSU Bethesda Serukam merupakan rumah sakit misi yang masih mempertahankan nilai-nilai kristiani dan pekabaran Injil. Pada awalnya, Serukam memang tempat bagi para misionaris dari luar negeri melakukan penginjilan, hingga akhirnya mendirikan rumah sakit dan gereja. Meski demikian, toleransi di sana sangat baik.  
Lebih lanjut, baik teman maupun kakak kelas kemudian memperkenalkan saya ke sana. Hingga akhirnya, usai masa internship, saya memutuskan ke RSU Bethesda Serukam dan bekerja sebagai dokter yang melayani di bidang casemix/ administrasi klaim. Tentunya, ini sesuai dengan minat saya, yang memang tertarik untuk terjun ke bidang manajemen rumah sakit.
Bukan tanpa kendala, di sana saya menemui masalah terkait pembiayaan kesehatan dan sumber daya manusia. Sebagai rumah sakit yang bergantung penuh pada pasien dengan jaminan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), ruang gerak kami dalam menangani pasien ada kalanya terkesan “dibatasi”. Saya di bagian casemix pun merasa kesulitan karena harus menyesuaikan tipe pelayanan rumah sakit dengan nilai klaim BPJS. Di satu sisi, rumah sakit ingin memberikan pelayanan holistik terbaik untuk pasien-pasiennya, tapi di sisi lain, ada nilai klaim yang harus diperhatikan. 
Masalah lain yang juga terlihat dominan adalah kesulitan RSU Bethesda Serukam dalam mencari dokter spesialis, dokter umum, serta tenaga kesehatan lainnya. Dokter-dokter di sana kebanyakan datang dari luar daerah, seperti saya yang memang terbeban untuk melayani di daerah.
Di luar itu, satu hal yang meneguhkan pelayanan saya adalah adanya kesadaran bahwa apa yang dikerjakan di rumah sakit tersebut adalah pekerjaan Tuhan. Jadi saya sangat bersyukur diberi kesempatan untuk melayani di sana, bisa berkontribusi dalam bidang yang saya sukai, dan mendapatkan banyak sekali pengalaman berharga.
 
Momen Natal di Serukam
Di Serukam, peringatan hari kelahiran Yesus Kristus dirayakan dengan tradisi open house, di mana setiap rumah menyediakan makanan. Adalah kebanggaan bagi masyarakat di sana, jika rumah mereka dikunjungi banyak tamu ketika Natal, terutama oleh para dokter. Jadi, saya dan teman-teman sejawat yang hampir seluruhnya berasal dari luar daerah, berkeliling ke rumah-rumah warga dan mencicipi banyak sekali makanan khas daerah. 
 
“Ketika kita memerhatikan kehidupan orang-orang yang melayani dengan tidak mementingkan diri sendiri, kita dapat melihat bahwa mereka memperoleh lebih banyak daripada yang mereka berikan” - Eva Chrystin, Amd. Keb., Bidan Pelaksana RS UKRIDA
Pernahkah Anda mendengar Desa Gubrih? Nama desa di Kabupaten Bondowoso, Provinsi Jawa Timur ini mungkin tidak terlalu akrab di telinga kita. Wajar memang, karena desa ini bahkan bisa dikatakan terisolasi. Secara khusus di musim penghujan, di mana jalan-jalan di sana yang masih berupa tanah menjadi sulit dilalui, dan juga sering longsor.
Minimnya infrastruktur pendukung tersebut, bahkan telah menjadi penyebab utama kemiskinan dan ketertinggalan sejumlah dusun di Desa Gubrih. Namun, desa inilah yang menjadi ladang pelayanan saya selama dua tahun, sejak 2016 hingga 2018, melalui program Nusantara Sehat.
Saya merasa terpanggil untuk memberikan pelayanan kesehatan langsung ke masyarakat yang tempat tinggalnya jauh dari lokasi fasilitas kesehatan (faskes). Ini sejalan dengan program Nusantara Sehat, yang bertujuan untuk memperkuat layanan kesehatan primer melalui peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan dasar di Daerah Tertinggal, Perbatasan, dan Kepulauan (DTPK) dan Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK). Selain itu, program ini juga mempunyai tujuan untuk menjaga keberlangsungan pelayanan kesehatan, menggerakkan pemberdayaan masyarakat, dan dapat memberikan pelayanan kesehatan yang terintegrasi.
Di desa yang sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai petani tembakau, padi, jagung, dan singkong tersebut, ada tiga penyakit yang menjadi masalah kesehatan utama. Yaitu Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), penyakit kulit, dan hipertensi. 
Saya sendiri pernah jatuh sakit. Namun, di tengah situasi yang penuh keterbatasan, saya harus bisa mandiri. Puji Tuhan, masyarakat di sana sangat peduli. Walau kehidupan mereka sangat sederhana, mereka tetap mengantarkan makanan atau memberikan bantuan dalam bentuk tenaga, ketika saya membutuhkan sesuatu. Hal ini mereka lakukan, tidak hanya satu atau dua kali, melainkan sering.
Status saya sebagai pendatang, bukan orang Madura dan tidak berbahasa Madura, serta bukan seorang muslim, ternyata tidak menjadi penghalang untuk kami bisa berinteraksi. Awalnya memang sempat menjadi kendala, tapi dengan semakin sering berbaur dengan masyarakat sekitar, lambat laun chemistry dan kepercayaan di antara kami bisa tercipta. 
Ketika menemui kesulitan, saya juga selalu mengingat bahwa pelayanan berarti menolong sesama yang membutuhkan bantuan. Pelayanan tumbuh dari kasih yang tulus, dan ini lebih dari sekadar perasaan; ketika kita mengasihi sesama, kita ingin menolong mereka. Kita semua harus bersedia untuk melayani, terlepas dari pendapatan, usia, ataupun kedudukan sosial kita. 
Sebenarnya, ketika kita melayani orang lain, kita pun beroleh berkat. Dengan melayani, kemampuan kita untuk mengasihi semakin meningkat, dan kita semakin tidak mementingkan diri sendiri.
 
Momen Natal di Desa Gubrih
Ketika harus melalui momen Natal di tempat yang jauh dari keluarga inti, saya mendapatkan keluarga baru di daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Namun, toleransi beragama sungguh saya rasakan. Mereka tidak sungkan untuk berkunjung, berkumpul, dan makan-makan di rumah, untuk merayakan Natal bersama saya. Toleransi beragama dan rasa saling menghargai yang ada di antara kami, menjadikan Hari Natal yang saya alami semakin istimewa dan penuh sukacita, walau dirayakan di tengah kesederhanaan.
 
“Itu merupakan pilihan hidup saya dan yakin bahwa Tuhan akan selalu bersama saya, di mana pun saya berada” - dr. Franzeska Marchitia Dinar Pusparani, Dokter Umum dan Kepala Satuan Medis Fungsional (SMF) Umum RS UKRIDA   
Indonesia adalah negara archipelago (kepulauan). Di antara belasan ribu pulau yang termasuk dalam wilayah nusantara, ada daerah-daerah yang disebut 3T, alias terdepan, terluar, tertinggal. 
Di salah satu daerah 3T inilah, saya menjalani masa pengabdian sebagai dokter PTT (Pegawai Tidak Tetap) selama satu tahun. Tepatnya di Kabupaten Sumba Tengah, Pulau Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur, di bulan Februari 2019 sampai Februari 2020. Walau terbilang cukup singkat, pengalaman ini begitu istimewa dan berharga, karena saya bisa melayani masyarakat di daerah terpencil.
Sejak kuliah, saya memang sudah memikirkan untuk bisa berkarya di daerah, karena seperti kita tahu, jumlah dokter di daerah masih sedikit sekali. Secara pribadi, saya ingin hidup saya memiliki value. Saya juga ingin bisa berkontribusi kepada masyarakat di daerah, khususnya daerah 3T, sebagai bentuk bakti saya kepada masyarakat dan negeri. Alasan lainnya, dengan pergi ke berbagai daerah, saya bisa mengenal keanekaragaman budaya yang ada di negeri ini, juga potensi dan kekurangannya.
Maka, selesai masa internship, saya mencari informasi mengenai PTT di beberapa daerah dari teman-teman sejawat saya. Dari situlah, salah satu senior saya di Kupang memberi tahu kalau wilayah Sumba Tengah sedang membutuhkan tenaga dokter umum. 
Saya masih ingat kalimat yang disampaikan Kepala Dinas Kesehatan Sumba Tengah, yang juga merangkap sebagai direktur Rumah Sakit Umum Daerah Waibakul kepada saya saat itu, “Sebenarnya, sebelum dokter sudah ada tujuh dokter lain yang menghubungi saya. Dokter adalah orang kedelapan yang menghubungi, tapi kenapa saya memilih dokter, karena sejak awal dokter bilang bahwa dokter berminat ke sini.” 
Bermodal tekad dan keberanian, satu minggu setelah panggilan tersebut, saya terbang ke Sumba karena rumah sakit membutuhkan dokter dalam waktu segera.    Sebagai informasi, Sumba Tengah merupakan salah satu kabupaten di Pulau Sumba, yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Sumba Barat. Tidak seperti Kabupaten Sumba Barat Daya, Sumba Barat, dan Sumba Timur, yang merupakan daerah yang dekat dengan pantai, Kabupaten Sumba Tengah terdiri dari dataran tinggi dan bukit, yang didominasi hutan dan sawah. Rumah sakit tempat saya bekerja pun berada di dekat hutan. Jarak antara rumah ke rumah lainnya atau antar kampung cukup berjauhan.
Pulau Sumba sering terdampak hujan badai yang disertai angin kencang. Ditambah dengan keadaan daerahnya yang berupa dataran tinggi dan bukit-bukit, maka daerah ini berpotensi besar mengalami longsor. Kondisi menjadi lebih sulit jika jalan utama yaitu trans Sumba, yang menghubungkan kabupaten Sumba Barat Daya sampai Sumba Timur mengalami longsor, jalan akan tertutup dan menyebabkan akses antar kabupaten menjadi terganggu.
Namun, sesuai dengan moto Sumba Tengah, “Tana Waikanena Loku Waikalala” yang secara harfiah diartikan sebagai tanah yang berkelimpahan susu dan madu, kawasan inipun memiliki berbagai kekayaan sumber daya alam. Hasil alam yang banyak dijumpai adalah padi, jagung, dan umbi-umbian.
Di luar potensi alam yang dimiliki, Sumba Tengah memiliki tiga masalah utama, yang jamak dijumpai pada daerah 3T lainnya, yaitu kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan, di mana ketiganya berhubungan erat. Misalnya, keterkaitan antara pendidikan dan kesehatan. Rata-rata masyarakat di tempat saya melayani, berpendidikan rendah. Mereka juga memiliki karakter yang keras dan sangat mempercayai pengobatan alternatif, baik herbal maupun spiritual. Maka saat memberikan edukasi kesehatan, harus secara tepat, jelas, dan benar, agar dapat dipahami dan bisa membuka pikiran mereka mengenai hal-hal medis. Namun, di ekstrem lain, ada yang menganggap dokter adalah dewa atau Tuhan, sehingga mereka berharap bahwa setiap pasien harus sembuh setelah mendapat penanganan dari dokter. Kami harus siap menerima komplain dari keluarga, jika pasien tidak sembuh.   
Secara khusus di bidang kesehatan, ada beragam masalah yang harus ditangani. Di antaranya, warga belum teredukasi baik mengenai Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), kesulitan dalam mengakses air bersih, keterbatasan tenaga kesehatan, dan keterbatasan faskes. 
Sebagai contoh, mereka harus ke rumah sakit di Kabupaten Sumba Barat yang jaraknya sekitar tiga puluh menit perjalanan darat atau ke Kabupaten Sumba Timur yang lebih jauh, dengan waktu tempuh sekitar dua setengah hingga tiga jam perjalanan darat, jika memerlukan fasilitas yang lebih lengkap. 
Sumba Tengah sendiri memiliki delapan puskesmas saat itu, beberapa di antaranya menerima layanan rawat inap; satu RSUD, dan satu klinik pratama milik yayasan. Lalu di beberapa desa terdapat pustu (puskesmas pembantu). Namun, tidak setiap hari ada petugas yang melayani di pustu. 
Kendala lainnya, layanan kesehatan masih cukup sulit diakses, terutama di beberapa desa yang belum memiliki medan atau jalan yang baik. Ada pula desa-desa yang belum mendapatkan aliran listrik, tidak dapat mengakses internet, dan kesulitan mencari sinyal. Akibatnya, pelayanan kesehatan di desa-desa tersebut menjadi terganggu.   
Selain itu, ada tiga penyakit utama yang masih sering terjadi Sumba Tengah, yaitu demam berdarah dengue (DBD), yang bisa mencapai Kondisi Luar Biasa (KLB) di bulan Januari sampai Maret; pneumonia, dan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK). 
Sebelumnya saya sempat menyebutkan kalau jumlah dokter di daerah masih sedikit sekali. Hal ini saya alami sendiri saat melayani di Sumba Tengah. Ketika pertama kali tiba dan bekerja di RSUD Waibakul, hanya ada lima dokter umum (termasuk saya) dan tiga dokter spesialis (spesialis anak, obstetri ginekologi, dan anestesi). 
Situasi menjadi semakin sulit saat angka kejadian DBD melonjak di bulan Januari-Maret. Banyak pasien yang masuk Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan harus dirawat. Oleh karena hanya ada lima dokter umum, maka masing-masing dari kami harus berjaga lebih dari 1x24 jam dalam setiap shift. Selesai giliran jaga, kami masih harus melakukan visit ke semua pasien dewasa di ruang rawat inap. 
Lalu, bagaimana jika ada pasien yang ingin berkonsultasi? Kalau kami mendapat kasus tertentu, tapi tidak ada dokter spesialis yang dibutuhkan, kami hanya bisa saling berdiskusi antar dokter umum, atau membaca textbook yang kami sediakan di kamar jaga dokter, atau langsung merujuk pasien ke kabupaten sebelah. Keadaan mulai membaik beberapa bulan kemudian, tepatnya saat mulai mempersiapkan untuk akreditasi, karena jumlah dokter umum ditambah dan dokter spesialis semakin lengkap. 
Semua pengalaman ini tidak membuat saya menyesal telah memilih Sumba Tengah sebagai lokasi PTT, karena segala yang terjadi di periode waktu tersebut telah mengajarkan saya untuk tidak pernah lupa bersyukur. Saya bersyukur karena bisa mempelajari banyak hal yang membuat saya lebih mandiri dan lebih kuat; saya bersyukur karena bertemu banyak orang baik yang selalu menjaga dan membantu, bahkan menganggap saya sebagai keluarga; saya bersyukur bahwa profesi ini bisa memberikan saya kesempatan untuk melakukan banyak hal baik, meskipun saya berada di daerah yang sulit; saya juga bersyukur karena ketika saya melihat dan membantu orang-orang yang lebih membutuhkan dan lebih sulit hidupnya, masalah saya sendiri terlihat lebih kecil dan kurang berarti, sehingga saya bisa fokus melihat kebutuhan orang lain, bukan kebutuhan pribadi semata.
 
Momen Natal di Sumba Tengah
Pengalaman Natal saya di sana sungguh sunyi senyap karena Sumba Tengah merupakan daerah yang sangat sepi. Pada hari raya besar pun jarang ada perayaan secara besar-besaran dan meriah, tidak seperti di Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Timur yang memang lebih ramai suasananya, seperti di perkotaan. Selain itu, sebagian besar teman saya pulang ke rumah untuk merayakan Natal bersama keluarga. Meski begitu, saya tetap bersyukur karena saat Natal masih dapat mengikuti misa di gereja dan mengadakan kegiatan bakti sosial di salah satu panti asuhan di Sumba Tengah.* 
 
*Artikel ini dipublikasikan di Buletin Ukrida Impact Edisi 6 November-Desember 2022
 
Penulis Theresia J Christy Foto Dokumen Pribadi 


RS UKRIDA dinaungi oleh PT Upadana Krista Dipta Arjasa
Jl. Arjuna Utara No. 7G, Jakarta Barat