TERKINI &
PROMO
Home >Artikel > Kesehatan > “Berdamai” dengan COVID-19

...

“Berdamai” dengan COVID-19

 Post date 19 September 2022


Masih segar dalam ingatan, sebuah kasus endemi infeksi paru yang menyebar sangat cepat di Provinsi Wuhan, Tiongkok, pada akhir 2019. Infeksi ini diakibatkan oleh Virus SARS-CoV-2 (Severe Acute Respiratory Syndrome CoronaVirus 2), sebuah virus yang umumnya tidak dideteksi pada manusia dan bisa mengalami mutasi yang sangat cepat. 
Dalam waktu singkat, virus tersebut juga menyebar ke banyak negara di dunia. Ada sebagian dari negara-negara itu yang terlihat lebih siap menghadapinya, tapi ada juga yang tidak siap. Ada yang sampai memberlakukan lockdown (kuncitara), tapi ada pula yang tetap beraktivitas seperti biasa, hanya saja memperketat penggunaan masker di semua kalangan warganya. 
Di Indonesia, kasus positif pertama ditemukan dan diumumkan pada 2 Maret 2019. Saat itu, dilaporkan adanya keberadaan varian Alfa dan Beta yang menimbulkan kesakitan dan kematian yang cukup tinggi. Maka, pemerintah Indonesia pun memberlakukan sejumlah kebijakan dalam rangka membatasi penyebaran virus, serta meningkatkan akses untuk mendapatkan tes diagnostik dan pengobatan COVID-19 (CoronaVirus Disease). Di masa ini, pembatasan dilakukan dalam hampir segala aspek kehidupan kita. Salah satu yang tidak luput adalah kegiatan belajar mengajar. 
Tentunya, hal ini menjadi tantangan tersendiri yang tidak mudah untuk dihadapi, yaitu disrupsi sistem pendidikan dari luring ke daring. Oleh karena itu, setiap institusi pendidikan harus berbenah diri dengan sangat cepat, melengkapi infrastruktur, dan bertransformasi untuk menyesuaikan diri dengan masalah yang muncul. 
Situasi kian pelik ketika di pertengahan Juli 2020, kita harus berhadapan dengan varian Delta yang sangat mematikan. Pada kondisi ini, kita benar-benar terpenjara dan harus menyesuaikan aktivitas dengan cara yang sangat bijaksana. 
Di sisi lain, kemajuan vaksinasi dan keberhasilan pemerintah dalam memitigasi penyebaran virus adalah game changer kita. Akan tetapi, SARS-CoV-2 adalah virus yang mudah sekali mengalami mutasi. Walaupun sebagian besar mutasi ini mengakibatkan penurunan virulensi (keganasan), tetap saja masih banyak ditemukan pasien yang meninggal dunia. 
Meski obat untuk COVID-19 belum ditemukan, ada banyak orang di dunia yang telah divaksinasi, maka tahun 2022 bisa dimulai dengan optimisme yang sangat tinggi. Buktinya, pemerintah Indonesia dan banyak negara maju memutuskan bahwa inilah saatnya kita harus “berdamai” dengan COVID-19. Penyekatan-penyekatan yang tadinya dilakukan secara sangat ketat sudah mulai dibuka, bahkan pada Maret 2022, pemerintah Indonesia menyarankan untuk membuka masker di ruangan terbuka. Pada saat ini pun, banyak institusi pendidikan tinggi memperbolehkan civitas akademikanya melakukan kegiatan secara offline, walau tetap dengan pembatasan yang ketat dan dengan syarat sudah divaksinasi. 
Namun, seperti sudah disampaikan sebelumnya bahwa virus ini bisa bermutasi dengan sangat cepat, maka saat ini kita mengenal adanya subvarian baru dari varian omicron yang diberi nama BA.2.75 atau “Centaurus“. Virus ini mulai menginfeksi Inggris dan beberapa negara di Kawasan Eropa, bahkan beberapa kasus sudah ditemukan di Indonesia, sehingga kita tetap harus waspada dan berjaga-jaga. Apalagi kecenderungan pasien untuk mengalami reinfeksi cukup tinggi, akibat mutasi virus yang terjadi, walaupun sebelumnya seseorang telah diberikan vaksinasi baik whole virus maupun tipe rekombinan. Peningkatan antibodi yang ada dalam tubuh ternyata tidak cukup spesifik untuk melawan infeksi CoronaVirus, apabila terus mengalami mutasi. Hal ini dapat kita telaah berdasarkan fakta bahwa ledakan-ledakan pandemi masih terjadi. 
Kabar baiknya adalah tingkat infeksi ini tidak berbanding lurus dengan kekerapan beratnya penyakit yang terjadi, apabila kita bandingkan dengan populasi yang tidak sama sekali mendapatkan vaksinasi, populasi dengan komorbiditas yang multipel, dan usia tua (>65 tahun).
Jadi, sudah siapkah Anda, para mahasiswa, untuk melakukan aktivitas Pembelajaran Tatap Muka (PTM) secara penuh? Untuk melengkapi informasi di atas, ada baiknya jika Anda membaca hasil wawancara dengan dr. Marshell Tendean, Sp. PD, yang kini berpraktik di Rumah Sakit UKRIDA.  

Siapa saja yang berisiko mengalami infeksi berulang COVID-19?
Semua orang berisiko mengalami infeksi ulang, walaupun pasien sudah mengalami infeksi sebelumnya dan sudah divaksinasi. Populasi orang tua dengan status vaksinasi yang belum lengkap memiliki risiko yang lebih tinggi jika dibandingkan pasien lain.

Adakah data mengenai kasus reinfeksi di Indonesia, dan secara khusus di Jakarta? 
Sayangnya data ini belum ada.

Ada orang-orang yang terinfeksi COVID-19 berulang kali padahal sudah divaksinasi, bagaimana hal ini bisa terjadi?
Virus SARS-CoV-2 ini adalah virus yang sangat pintar, kemampuannya bermutasi merupakan mekanisme pertahanan virus tersebut terhadap ancaman. Oleh karena kemampuan mutasi inilah tubuh tidak bisa sepenuhnya atau seratus persen mengenali virus baru yang akhirnya menginfeksi tubuh. Sementara antibodi yang dihasilkan pada tubuh seseorang, seringkali merupakan antibodi hasil dari paparan virus maupun materi genetik virus yang memiliki materi genetik berbeda dengan subvarian virus yang ada di waktu tertentu. Namun, tidak berarti bahwa antibodi yang terbentuk dari infeksi maupun vaksinasi menjadi tidak berguna. Buktinya dapat kita lihat pada mereka yang sudah terinfeksi COVID-19, atau sudah divaksinasi, gejala yang mereka alami ketika terpapar, tergolong ringan.

Apakah virus COVID-19 senantiasa bermutasi, dan mengapa?
Iya, sampai saat ini masih bermutasi. Kemampuan RNA (asam ribonukleat) virus berkembang biak dengan cara replikasi, memungkinkan materi genetik yang terbentuk pada replikasi virus tidak sama persis, hal ini yang kita kenal sebagai mutasi. Terkadang hasil mutasi ini dapat memperlihatkan karakteristik yang jauh berbeda dari virus awalnya.

Bagaimana menghentikan mutasi virus ini?
Ini fenomena yang sampai sekarang masih terus diteliti, tapi kemungkinan mutasi memang selalu ada dan ada banyak faktor yang memengaruhi kejadian mutasi tersebut.

Dalam kondisi seperti apa seseorang bisa mengalami reinfeksi?
Mereka dengan status imun yang tidak baik, yaitu mereka yang memiliki banyak komorbid, autoimun, keganasan, maupun populasi lansia.

Apakah infeksi berulang COVID-19 identik dengan varian tertentu? 
Sampai saat ini belum bisa dijelaskan, jika kita melihat data lokal di Indonesia. 

Bisa sampai berapa kali seseorang terinfeksi secara berulang? 
Beberapa pasien saya bahkan bisa terinfeksi hingga empat kali.

Apa benar bahwa reinfeksi bisa meningkatkan kekebalan terhadap COVID-19? 
Tidak sepenuhnya benar, karena masih banyak faktor yang berhubungan dengan kekebalan itu sendiri, mulai dari status imun, usia, dan komorbiditas pasien yang bersangkutan.

Sebaliknya, apakah seseorang yang terinfeksi menjadi lebih rentan? 
Pada umumnya tidak, karena telah terbentuk antibodi terhadap infeksi virus SARS-CoV-2. Akan tetapi seperti yang saya sebutkan di atas bahwa subtipe yang berbeda maupun status imun pasien yang akan menentukan terjadinya reinfeksi.

Bagaimana caranya untuk menghindari terjadinya reinfeksi? 
Pencegahan transmisi dan kekebalan kelompok merupakan langkah penanggulangan yang sangat penting dalam memutus mata rantai penyebaran penyakit, khususnya di institusi pendidikan. Jadi, selain berolahraga, istirahat yang cukup, dan mengonsumsi makanan sehat, ada beberapa cara yang bisa kita lakukan dalam rangka memutus mata rantai penyebaran infeksi COVID-19, yaitu mencuci tangan dengan benar, memakai masker, dan menghindari kerumunan khususnya di lingkungan institusi pendidikan. Pemberian vaksinasi COVID-19 secara lengkap serta booster juga menjadi salah satu kebijakan yang dapat diambil oleh semua institusi pendidikan, karena sampai saat ini terbukti sangat efektif dalam menurunkan/ membatasi angka penyebaran infeksi COVID-19.

Ada rencana untuk memberlakukan vaksinasi dosis ke-4. Apakah vaksinasi harus selalu dilakukan ketika muncul varian baru hingga akhirnya obat COVID-19 ditemukan? 
Betul, prinsipnya seperti melakukan update antivirus komputer. Semakin banyak data atau paparan virus yang diberikan akan membantu meningkatkan antibodi spesifik terhadap virus dengan subtipe tersebut. Sampai saat ini, pencegahan dengan vaksinasi masih merupakan sasaran utama dari program pencegahan.

Adakah dampak dari vaksinasi COVID-19 yang dilakukan berulang kali, baik dampak positif maupun negatif? 
Dampak positifnya adalah kekebalan tubuh akan meningkat terhadap infeksi COVID-19. Namun, dampak negatifnya adalah kita belum tahu efek samping jangka panjang yang akan ditimbulkan oleh vaksin COVID-19 tersebut.

Apakah ada perkembangan terbaru mengenai obat untuk COVID-19?
Sampai saat ini, belum ada obat yang keampuhannya terbukti seratus persen, untuk mengobati orang yang terinfeksi COVID-19. Setiap ahli dan institusi masih terus berupaya untuk mengobati pasien dengan baik dan akurat, tapi kini ada dua antivirus baru yang cukup menjanjikan dan antibodi monoklonal (antibodi yang diproduksi di laboratorium yang meniru kemampuan sistem kekebalan tubuh untuk melawan patogen berbahaya seperti virus, bakteri, dan jamur), yang menjadi tulang punggung utama pengobatan orang yang terinfeksi COVID-19.*

*Artikel ini dipublikasikan di Buletin UKRIDA Impact Edisi 5 September-Oktober 2022

Penulis dr. Marshell Tendean, Sp. PD Editor Theresia J Christy Foto Pixabay
 


RS UKRIDA dinaungi oleh PT Upadana Krista Dipta Arjasa
Jl. Arjuna Utara No. 7G, Jakarta Barat