TERKINI &
PROMO
Home >Artikel > Kesehatan > Lawan Mager Biar Hidup Lebih Seger

...

Lawan Mager Biar Hidup Lebih Seger

 Post date 6 Oktober 2023


Banyak hal, mulai dari pikiran yang sedang dirundung kegalauan hingga panas terik, menjadi alasan untuk mengucapkan akronim mujarab yang satu ini. Ya, mager alias males gerak terbukti cukup manjur untuk memukul mundur orang yang mengajak atau mengubah rencana berkegiatan yang sudah dibuat sebelumnya. 

Baik remaja, maupun orang dewasa, bahkan anak-anak kecil sekalipun, sudah mengenal istilah ini. Mereka sering menyebutkan kata mager, di saat enggan untuk beranjak dan melakukan sesuatu. Entah itu sedang asyik berkutat dengan gawainya ataupun menonton televisi. 
Ketika mager sudah menjadi gaya hidup, hal ini disebut sedentary living. “Sedentary living merupakan sebuah gaya hidup yang mengacu pada segala jenis aktivitas yang dilakukan di luar waktu tidur dengan karakteristik keluaran kalori yang sangat sedikit. Beberapa contoh aktivitas tersebut adalah  berbaring, duduk, membaca, menonton televisi, dan bekerja di depan komputer,” jelas dr. Reggy Trialetta Injo, Sp. KFR, yang berpraktik di poli rehabilitasi medik Rumah Sakit UKRIDA.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa tolok ukur sedenter adalah intensitas dari aktivitas yang dilakukan sebesar 1,0-1,5 METS/ metabolic equivalents (tingkat pengeluaran energi saat seseorang sedang duduk diam).
Sementara klasifikasi sedentary living dibagi menjadi tiga berdasarkan durasi waktu, yaitu level rendah, menengah, dan tinggi. Level rendah berarti seseorang menjalani perilaku menetap dalam durasi kurang dari dua jam per hari, level menengah durasinya dua hingga lima jam, dan level tinggi dengan durasi lebih dari lima jam. 

Faktor Penyebab dan Pendukung 
Tercatat ada tujuh faktor yang menjadi penyebab dan pendukung munculnya sedentary living. Di antaranya ada hal-hal yang mungkin kita anggap biasa dan sulit dihindari, ada juga yang bahkan mempermudah aktivitas keseharian kita. Oleh karena itu, kita perlu mencari cara agar tidak terjebak dalam gaya hidup seperti ini.
Berikut tujuh faktor penyebab dan pendukung sedentary living, seperti disebutkan oleh dr. Reggy. Pertama, pengetahuan. Salah satu faktor yang menyebabkan seseorang melakukan sedentary living adalah kurangnya pengetahuan tentang hal tersebut dan dampak yang ditimbulkan oleh gaya hidup seperti itu.
Kedua, hobi atau kesenangan. Hobi atau kesenangan seseorang sangat beragam. Biasanya, seseorang bisa menghabiskan waktu cukup lama dalam menjalani hobinya. Namun, hobi seperti bermain game atau menonton televisi, menyebabkan seseorang memiliki risiko untuk duduk atau berbaring selama berjam-jam di depan layar monitor.
Ketiga, jenis kelamin dan usia. Pada masa kanak-kanak dan remaja, sedentary living banyak dilakukan, karena anak-anak dan remaja senang menonton televisi, bermain game, juga fokus dengan beragam aktivitas di komputer. Lalu, jika dibandingkan dengan anak dan remaja perempuan, anak dan remaja lelaki cenderung menghabiskan lebih banyak waktu untuk bermain game atau menonton video.   
Faktor keempat adalah teknologi. Kehadiran dan kemajuan teknologi sebenarnya ditujukan untuk mempermudah hidup manusia, namun ternyata tetap memiliki dampak yang mungkin tidak terpikirkan sebelumnya. Terkait sedentary living, teknologi merupakan faktor pendukung meningkatnya perilaku hidup mager. Sebagai contoh, sebelum ada lift, seseorang harus naik atau turun tangga untuk bisa pergi ke lantai lain. Dengan adanya lift, pada umumnya seseorang akan memilih lift dibandingkan tangga, papar dokter yang mengambil program spesialisasi kedokteran fisik dan rehabilitasi di Universitas Diponegoro itu.    
Serupa halnya dengan transportasi, sebagai faktor kelima. Sebelum kendaraan bermotor ditemukan, sepeda merupakan kendaraan yang dipilih untuk bepergian dari satu tempat ke tempat lain. Dengan bersepeda, tentunya kita tidak hanya bisa mencapai tujuan, tapi juga sehat secara fisik. 
Hal ini pula yang disadari oleh penduduk di sejumlah negara seperti Belanda, Denmark, dan Jerman, di mana sepeda masih banyak digunakan. Berbeda dengan negara-negara di mana populasi kendaraan bermotornya lebih tinggi karena alasan-alasan tertentu, di antaranya faktor kemudahan dan kenyamanan, serta infrastruktur yang kurang mendukung.  
Tidak sepenuhnya salah, tapi jika kita memberlakukan hal yang sama ketika ingin pergi ke lokasi-lokasi yang dekat, alias sepelemparan batu jaraknya, dan kita lebih memilih kendaraan bermotor dibanding berjalan kaki atau bersepeda, mungkin kita harus mulai mengubah cara berpikir dan gaya hidup kita, agar tidak terjebak dalam sedentary living.
“Faktor keenam adalah jam kerja yang panjang. Rata-rata pekerja menghabiskan waktu antara delapan sampai sepuluh jam di tempat kerja dengan sedikit atau tanpa ada waktu untuk melakukan olahraga. Pekerja duduk lama di depan komputer, membaca, melakukan pertemuan untuk pekerjaan, dan mengalami kemacetan di perjalanan. Hal ini menunjukkan masa duduk yang panjang, seseorang hanya melakukan sedikit gerakan dan mengeluarkan sedikit energi,” ujarnya lagi.
Faktor ketujuh atau faktor terakhir adalah pekerjaan itu sendiri. Adanya kemajuan teknologi membuat pekerjaan seseorang dimudahkan dengan mesin, tapi di saat yang sama bisa mengurangi aktivitas fisik dan meningkatkan sedentary living. Sebagai contoh, seorang programmer bisa duduk berjam-jam di depan komputer, karena aktivitas yang dilakukannya memang melekat dengan komputer.

Dampak terhadap Kesehatan
Gaya hidup minim aktivitas fisik memiliki dampak negatif, baik terhadap kondisi mental maupun kesehatan fisik. Pengaruhnya pada mental seseorang adalah peningkatan risiko kecemasan, depresi, dan tingkat kesejahteraan emosional yang lebih rendah. 
Sementara secara fisik, seseorang bisa terkena penyakit metabolik seperti diabetes mellitus (DM), hipertensi, dislipidemia; mengalami peningkatan risiko kanker; osteoporosis; serta penurunan fungsi kognitif. Berikut penjelasan dr. Reggy mengenai penyakit-penyakit di atas.
“Prevalensi DM tipe 2 meningkat dengan bertambahnya waktu duduk, minim aktivitas fisik. Hal ini telah secara konsisten didokumentasikan dalam berbagai penelitian. Sedentary living juga memengaruhi tekanan darah melalui berbagai mekanisme, yang pada akhirnya menimbulkan hipertensi. Gaya hidup seperti ini memengaruhi tekanan darah dengan mengubah curah jantung dan resistensi pembuluh darah perifer total,” paparnya.
Lanjutnya, sedentary living juga akan menyebabkan disfungsi metabolik yang ditandai dengan peningkatan kadar trigliserida darah, penurunan kadar kolesterol HDL (high-density lipoprotein), dan penurunan sensitivitas insulin, sehingga berakibat pada dislipidemia (kondisi di mana kadar lipid/ lemak dalam darah tidak normal). 
Selain itu, sedentary living juga erat kaitannya dengan prevalensi kanker. Menurut sebuah penelitian yang menyelidiki korelasi antara perilaku menetap dan prevalensi kanker, risiko kanker tiga belas persen lebih tinggi pada kelompok dengan waktu menetap terpanjang, jika dibandingkan kelompok dengan waktu menetap terpendek. Sementara pada studi lainnya, dilaporkan bahwa sedentary living meningkatkan keseluruhan risiko kanker sebesar dua puluh persen.
Perilaku menetap ternyata juga berdampak negatif terhadap densitas atau kepadatan tulang, karena densitas tulang berhubungan dengan durasi/ lamanya perilaku menetap tersebut dijalankan, bukan frekuensinya.
“Terkait dengan fungsi kognitif, berdasarkan penelitian yang menggunakan metode systematic review, ditunjukkan bahwa gaya hidup dan pekerjaan dengan perilaku menetap yang dominan, memiliki dampak buruk terhadap fungsi kognitif seseorang; sehingga dipercaya bahwa menggantikan waktu menetap dengan aktivitas fisik, dapat membantu meningkatkan fungsi kognitif,” tambah dr. Reggy.   

Penangkal Sedentary Living
Jika efek dari perilaku menetap bisa sedemikian buruknya, apakah kita masih ingin mempertahankan gaya hidup seperti itu? 
Sebenarnya ada beberapa langkah sederhana yang bisa dilakukan agar tidak terjebak dalam perilaku tersebut. dr. Reggy menyarankan supaya setiap individu bisa menghabiskan waktu dengan membaca buku, bernyanyi, memecahkan teka-teki, dan berbicara dengan orang lain, dibandingkan dengan menonton televisi atau DVD, bermain komputer dan telepon seluler, atau video game. Begitu juga dengan lansia berusia 65 tahun ke atas, mereka disarankan untuk tetap aktif sebanyak mungkin setiap hari.
“Menjadi aktif secara fisik dapat meningkatkan kesehatan otak dan mental, membantu mengatur berat badan, mengurangi risiko penyakit, memperkuat tulang dan otot, serta meningkatkan kemampuan ketika melakukan aktivitas sehari-hari. Setiap orang dapat merasakan manfaat dari aktivitas fisik, tidak tergantung dari usia, kemampuan, etnis, bentuk tubuh, atau ukuran,” tegasnya. 
Melengkapi apa yang telah disampaikan oleh dr. Reggy, ada beberapa cara lain yang juga sederhana dan bisa dilakukan supaya kita tetap aktif, seperti yang tercantum dalam www.verywellhealth.com berikut ini.  
Meluangkan waktu untuk lebih banyak berjalan kaki (setidaknya tiga puluh menit dalam sehari), memilih tangga dibanding lift untuk berpindah lantai, menggunakan sepeda dibandingkan kendaraan bermotor untuk menuju lokasi-lokasi yang tidak terlalu jauh, mengambil waktu sejenak untuk berdiri dan melakukan peregangan tubuh setelah dua puluh menit duduk terus menerus di kantor, berjalan ke pantry untuk mengambil air minum dan berdiskusi dengan kolega dibanding melakukan percakapan via gawai juga bisa menjadi cara yang baik supaya tidak terlalu lama duduk. 
Selain itu, di rumah kita juga bisa dan harus berupaya untuk tetap aktif, walau telah seharian lelah bekerja di kantor. Misalnya dengan melakukan bersih-bersih di dapur setelah makan malam, menyapu lantai, membuang sampah, dan berjalan-jalan singkat di luar rumah sambil berbincang-bincang dengan anggota keluarga atau sambil mengajak jalan hewan peliharaan kita. 
So, stay active and have a healthier life!

*Artikel ini dipublikasikan di Buletin Ukrida Impact edisi 11 September-Oktober 2023

Penulis, Editor, dan PJR Theresia J Christy Foto tookapic/ Pixabay 
 


RS UKRIDA dinaungi oleh PT Upadana Krista Dipta Arjasa
Jl. Arjuna Utara No. 7G, Jakarta Barat