Jaga Kesehatan Ginjal, Jangan Sampai Gagal
Post date 20 September 2024
Kasus gagal ginjal akut yang menyerang anak-anak usia enam bulan hingga delapan belas tahun semakin banyak ditemui. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, dalam rentang waktu dua bulan, tepatnya dari bulan Agustus hingga Oktober 2022, telah terjadi peningkatan. Per 18 Oktober 2022, ada 189 kasus yang dilaporkan. Sangat mengkhawatirkan, karena dari jumlah tersebut, jumlah kasus gagal ginjal pada anak usia satu hingga lima tahun mendominasi.
Tidak hanya itu, seorang dokter spesialis penyakit dalam konsultan ginjal-hipertensi dari Rumah Sakit Universitas Sebelas Maret Surakarta, Wachid Putranto, belum lama ini mengatakan bahwa lima hingga sepuluh persen pasien gagal ginjal yang ia tangani, berada di rentang usia dua puluh hingga tiga puluhan tahun.
Hal ini patut mendapat perhatian, apalagi baru-baru ini sebuah unggahan di media sosial menjadi viral, lantaran seorang pemuda bernama Ridwan Fadhil Baihaqi yang masih berusia 22 tahun, menceritakan bagaimana ia harus melakukan cuci darah dua kali seminggu setelah didiagnosis gagal ginjal kronis. Ia tidak memiliki riwayat hipertensi ataupun diabetes di keluarganya. Yang menjadi penyebabnya tak lain karena pola makan dan gaya hidup yang tidak sehat.
Dikutip dari tribunnews.com, ia sering mengonsumsi makanan instan, minuman manis kemasan bahkan sampai tiga kali sehari, jarang minum air putih, dan jarang berolahraga. Selain itu, pola tidurnya juga tidak baik. Ia sering begadang lantaran harus menyelesaikan kuliah sambil bekerja.
Akibat kebiasaan tersebut, ia mengalami kerusakan ginjal sejak usia dua puluh tahun. Ia pun harus melakukan cuci darah sebagai pengganti ginjalnya yang sudah rusak, artinya seumur hidup. Ia juga harus beradaptasi dengan kondisi tubuhnya yang tidak sebugar sebelumnya. Sebagai contoh, untuk lari satu kilometer saja, ia sudah tidak mampu karena napasnya menjadi tersengal-sengal.
Jika kasus-kasus seperti ini tidak diantisipasi, bukan tidak mungkin jumlah kasus gagal ginjal pada orang muda akan mengalami pertambahan. Walau secara statistik, pasien yang menderita gagal ginjal di usia muda biasanya disebabkan penyakit autoimun (glomerulonephritis atau nefritis lupus), seperti disebutkan oleh dr. Bhanu, B.MedSc., Sp.PD, FINASIM, dokter spesialis penyakit dalam yang berpraktik di Rumah Sakit UKRIDA.
Mengenal Ginjal, Si Buah Pinggang
Sebelum lebih jauh berbicara mengenai penyakit ginjal dan terapi yang diberikan kepada para pasiennya, akan lebih baik jika kita mengenali dan memahami organ ginjal terlebih dahulu.
Ginjal adalah organ tubuh yang berada di bagian bawah tulang rusuk, di area sekitar pinggang. Oleh karena lokasinya tersebut, organ yang bentuknya mirip seperti kacang ini juga sering disebut sebagai buah pinggang.
Ginjal memiliki banyak fungsi di tubuh, yaitu mencakup regulasi cairan, elektrolit, tekanan darah, keasaman darah, serta mengatur produksi hemoglobin dari sumsum tulang dengan melepas hormon eritropoetin.
“Kita memiliki sepasang ginjal. Kedua ginjal ini bekerja secara sinergis dalam mengatur tekanan darah melalui sistem renin-angiotensin-aldosteron; di mana reseptor di ginjal akan mendeteksi, apabila terjadi penurunan tekanan darah dan aliran darah ke ginjal. Jika terjadi penurunan, maka renin akan dilepas, sehingga terjadi peningkatan tekanan darah. Di dalam ginjal juga ada struktur bernama tubulus, yang bertanggung jawab dalam proses pertukaran elektrolit, serta ion H+ dan HCO3- yang berperan dalam regulasi keasaman darah manusia,” papar dr. Bhanu.
Ginjal dapat mengalami kerusakan akibat beberapa hal. Diabetes dan hipertensi, yang sempat disinggung sebelumnya terkait kasus Ridwan, merupakan dalang atau penyebab utama kerusakan ginjal di Indonesia. Di luar itu, ada penyakit autoimun, batu ginjal, penggunaan obat-obatan yang tidak sesuai dengan anjuran dokter, dan konsumsi beragam jamu secara berlebihan.
Lalu, bagaimana cara yang tepat untuk menjaga kesehatan organ yang sangat penting ini? Pertama, mencukupi kebutuhan akan cairan setiap harinya, dengan meminum air dalam jumlah yang cukup. Kedua, berkonsultasi ke dokter sebelum mengonsumsi obat-obatan dan jamu-jamuan. Vitamin khusus untuk menjaga fungsi ginjal tidak diperlukan bagi seseorang yang sehat. Namun, pada kondisi di mana telah terjadi kerusakan atau penurunan fungsi ginjal, maka dokter akan menyarankan diet rendah protein disertai suplementasi untuk mencegah penurunan fungsi ginjal lebih lanjut.
Ketika Ginjal Sedang Tidak Baik
Tidak seperti penyakit demam berdarah yang memperlihatkan bercak merah pada kulit, penyakit ginjal yang berada di tahap awal, tidak memperlihatkan gejala yang khas. Namun, bagi mereka yang telah memiliki penyakit dasar seperti hipertensi ataupun diabetes, kemungkinan akan lebih cepat terdeteksi. Pasalnya, terhadap mereka dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal secara berkala sebagai langkah pencegahan.
“Pada kasus di mana terjadi kebocoran protein pada urine, yang biasa terjadi pada pasien dengan diabetes atau dengan penyakit autoimun ginjal (glomerulonephritis), dapat ditemukan gejala seperti urine yang berbusa. Lalu, pada kondisi lain seperti batu ginjal, bisa ditemukan warna urine yang menjadi keruh atau bahkan ada kerikil yang keluar saat buang air,” lanjut dokter sekaligus pengajar di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Krida Wacana (FKIK UKRIDA) ini.
Gejala yang telah terdeteksi dan segera mendapatkan penanganan yang tepat, tentunya akan jauh lebih baik. Dalam hal ini, bisa mencegah terjadinya gagal ginjal. Oleh karena itu, terapi yang diberikan akan ditujukan pada penyakit dasar. Misalnya, jika seseorang menderita diabetes maka pengobatan difokuskan pada kontrol kadar gula darah. Hal yang serupa diberlakukan pada penyakit hipertensi ataupun penyakit autoimun. Pengobatan juga biasanya disertakan dengan pola diet rendah protein dengan kadar yang disesuaikan dengan sisa fungsi ginjal.
Meski demikian, ada beberapa kondisi di mana progresivisitas penyakit ginjal sulit dihindari, karena penyakit dasar tidak dapat ditatalaksana. Contoh dari kondisi yang dimaksud adalah penyakit kanker yang menyebabkan penyumbatan saluran ginjal, kondisi autoimun yang perkembangannya cepat sehingga kerusakan ginjal sudah permanen, ataupun kondisi di mana penyakit dasar sudah sangat lama sehingga pemulihan ginjal sudah tidak memungkinkan. Terhadap mereka yang berada dalam kondisi tersebut, penanganannya pun akan berbeda.
“Tidak melulu dengan terapi hemodialisis, melainkan tergantung penyebab. Kalau peningkatan kreatininnya cukup tinggi atau produksi urinenya sangat sedikit, maka tetap cuci darah dulu sebagai terapi suportif,” tambahnya.
Terapi Hemodialisis
Terapi hemodialisis atau cuci darah merupakan salah satu modalitas terapi pengganti ginjal di mana darah pasien akan dialirkan melalui selang ke sirkuit mesin, tempat terjadi proses penyaringan dan pertukaran toksin dan elektrolit. Setelah proses tersebut selesai maka darah akan dialirkan kembali ke tubuh pasien melalui selang.
Saat menjalani terapi ini, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu pasien harus memastikan jadwal hemodialisis tetap dipenuhi; konsumsi cairan tetap dibatasi sesuai dengan instruksi tenaga medis; diet protein, rendah fosfat, dan rendah kalium. Pasien biasanya dilarang mengonsumsi buah-buahan yang memiliki kadar kalium tinggi seperti pisang.
Menurut panduan dari Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI), ada dua kondisi di mana seseorang harus menjalani terapi cuci darah. Kondisi pertama adalah terjadinya gangguan ginjal akut yang berat sehingga terjadi penurunan fungsi ginjal cepat dan/ atau terjadi penurunan produksi urine. Kondisi kedua adalah pada penyakit ginjal kronis, di mana seseorang memerlukan terapi cuci darah bila Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) turun di bawah sepuluh, disertai gejala seperti sesak atau mual; atau angka LFG di bawah delapan dengan/ tanpa gejala. LFG sendiri adalah laju rata-rata penyaringan darah yang terjadi di glomerulus (pembuluh darah yang membentuk simpul kecil).
Biasanya, seorang pasien membutuhkan terapi cuci darah selama sepuluh hingga lima belas jam per minggu, atau berarti dua kali dalam seminggu dengan masing-masing durasi selama lima jam. Namun, ini merupakan frekuensi minimal, terapi hemodialisis tetap disesuaikan dengan kebutuhan tiap-tiap pasien. Contohnya, pada pasien yang memiliki cairan berlebih atau kadar toksin yang sulit terkontrol maka hemodialisis dapat dilakukan tiga kali dalam seminggu.
“Pada kasus gangguan ginjal akut biasanya hemodialisis bersifat suportif atau tidak permanen. Namun, pada pasien dengan penyakit ginjal kronis tahap akhir, biasanya hemodialisis perlu dilakukan seumur hidup hingga pasien menjalani terapi pengganti ginjal lainnya, seperti dialysis peritoneal atau transplantasi ginjal,” terang dr. Bhanu lagi.
Mengingat terapi ini dilakukan dalam waktu yang cukup lama hingga seumur hidup, yang menjadi pertanyaan adalah apakah ada efek sampingnya? dr. Bhanu menyebutkan bahwa efek samping yang paling sering terjadi adalah hipertensi atau hipotensi saat dilakukan tindakan. Namun, biasanya hal tersebut dapat ditanggulangi dengan mengubah setelan pada mesin, yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien.
Risiko lain yang mungkin terjadi adalah kondisi yang dikenal sebagai dysequilibrium syndrome, yaitu terjadinya gangguan kesadaran yang dapat terjadi pada pasien yang baru akan menjalani hemodialisis. Kondisi ini pun dapat dihindari dengan memberikan resep hemodialisis yang sesuai.
Terkait layanan cuci darah tersebut, RS UKRIDA akan segera membuka layanan hemodialisis dengan kapasitas empat mesin, yang dapat menampung delapan orang per hari. Harapannya, layanan ini bisa turut membantu dalam menjawab kebutuhan yang ada di masyarakat.*
Penulis dan Editor Theresia J Christy Foto Pixabay