TERKINI &
PROMO
Home >Artikel > Manajemen > Apresiasi Kami bagi Carina, Sang Pejuang Kemanusiaan

...

Apresiasi Kami bagi Carina, Sang Pejuang Kemanusiaan

 Post date 20 Oktober 2023


Kita semua mengetahui Raden Ajeng Kartini, pahlawan perempuan asal Jepara, yang dilahirkan pada 21 April 1879. Namun, tahukah Anda bahwa 110 tahun kemudian, tepatnya di tanggal 21 April 1989, “Kartini” lain dilahirkan untuk berjuang di abad modern? 
Ialah Dr. Carina Citra Dewi Joe, atau biasa dikenal dengan nama Carina Joe, ilmuwan asal Indonesia yang telah dianugerahi sederet penghargaan dari dalam dan luar negeri. Di antaranya Woman of the Year Anugerah TIMES Indonesia 2021, Pride of Britain Awards 2021, dan Young Investigator Awards 2022. Berbeda dengan RA Kartini yang berjuang untuk kemajuan kaum perempuan melalui pendidikan, perempuan berusia 34 tahun ini berperan penting dalam pembuatan vaksin AstraZeneca, vaksin yang dibutuhkan dalam pengendalian dan penanganan pandemi CoronaVirus Disease (COVID-19). 
Sudah sepatutnya kita berbangga dan memberikan apresiasi kepada pribadi yang tidak hanya cerdas, tapi juga memiliki kepedulian terhadap sesama. Oleh karena itu, pada hari Selasa, 3 Oktober 2023, sebuah acara bincang-bincang hasil kolaborasi Rumah Sakit UKRIDA dan Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA) diselenggarakan, sebagai wujud apresiasi keluarga besar UKRIDA kepada dirinya. 
Dalam kesempatan berharga yang juga dihadiri oleh Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah III Prof. Dr. Toni Toharudin, S.Si., M.Sc. tersebut, Doktor Carina membagikan kisahnya kepada lebih dari seratus mahasiswa, dosen, maupun karyawan UKRIDA dan RS UKRIDA. 

Dr. Carina dan Pandemi COVID-19
Beberapa tahun yang lalu, Dr. Carina pernah tinggal di Australia karena kedua orangtua mengarahkannya untuk mengambil jurusan memasak di sana. Orangtua melakukan hal itu karena melihat dirinya suka sekali makan. Selain itu, jika mengambil jurusan tersebut, suatu saat ia bisa mempunyai restoran sendiri dengan keterampilan memasak yang dimiliki.
Namun, ia merasa bahwa menjadi juru masak bukanlah panggilannya, meski ia pernah menjalani profesi itu selama beberapa waktu. Dalam hatinya, ia masih memendam obsesi untuk menjadi seorang ilmuwan. Maka selama menjadi sous chef atau asisten juru masak, ia tidak menjalaninya dengan sukacita, melainkan rasa kesal.
“Saya ingin melihat impact langsung dari pekerjaan saya. Saya melihat bahwa hal itu bisa ditemukan dalam bidang sains dan bioteknologi. Jadi saya memutuskan untuk kembali di bidang bioteknologi,” lanjutnya. 
Maka, ia pun meneruskan pendidikan di bidang tersebut dan menyelesaikannya hingga jenjang S3. Di saat yang bersamaan, Dr. Carina bekerja sebagai karyawan penuh waktu di salah satu perusahaan milik pemerintah Australia, yang bergerak di bidang pembuatan obat biologis skala besar. Dengan demikian, begitu selesai menjalani program S3, ia sudah memiliki tujuh tahun pengalaman sebagai research project officer.    
Latar belakang pendidikan di bidang vaksin dan pengalaman di bidang industri ternyata menjadi perpaduan yang bagus, yang membuat sejumlah institusi meliriknya, termasuk Oxford. 
“Perusahaan tempat saya bekerja saat itu, mengadakan konferensi setiap tahun. Kami mengundang semua ilmuwan, baik dari latar belakang akademis maupun industri. Saya sendiri juga terlibat dalam konferensi itu dan menjadi pembicara di sejumlah panel. Dari situlah Oxford mengetahui diri saya dan menawarkan sebuah posisi setelah saya berhasil mengambil gelar doktor,” kisahnya.
Beberapa tawaran yang masuk di saat yang sama, membuatnya harus mempertimbangkan dengan masak, sebelum akhirnya membuat keputusan. Sebagian dari teman-temannya menyarankan agar ia tetap di Australia karena Inggris sedang dalam proses Brexit kala itu. Selain itu, cuaca yang buruk dan makanan yang tidak enak juga menjadi alasan yang mereka kemukakan, agar ia tidak memilih Oxford. 
Di antara saran-saran yang masuk, ada satu saran yang berbeda, yaitu yang berasal dari mentornya. Mentor ini mengatakan bahwa Dr. Carina telah bergabung di perusahaan itu selama tujuh tahun. Artinya, ia sudah belajar banyak dari situ. Jadi, belajar dari dunia lain merupakan satu hal yang harus dicoba. 
Mengikuti saran dari mentornya tersebut, ia bergabung sebagai senior postdoctoral research scientist di Oxford University. Pada awalnya, ia melakukan penelitian soal rabies, karena grup di mana ia bergabung, ingin mengembangkan vaksin rabies. Mereka membutuhkan lebih banyak vaksin untuk dikirim ke Afrika, sehingga Dr. Carina harus membuat vaksin rabies dalam skala industri. 
Pada bulan November 2019, Dr. Carina berhasil menemukan cara untuk memproduksi vaksin secara masif dalam waktu singkat. “Saat itu, saya melakukan eksperimen dengan skala paling kecil, yaitu skala 30 mililiter atau dua sendok makan, di dalam laboratorium akademis. Untuk bisa mengembangkannya ke dalam skala besar, yang dibutuhkan adalah design process. Jika saya telah memiliki design process tersebut, tinggal bagaimana cara menerapkannya untuk mendapatkan skala besar secara bertahap. Jadi saya harus mengadaptasi parameternya,” papar ilmuwan yang pernah menjalani studi di Sekolah Menengah Atas Kristen I (SMAK I) Penabur Jakarta ini. 
Tak disangka, eksperimennya ternyata sangat berguna untuk menanggulangi pandemi COVID-19, yang terjadi tak lama setelah itu.
“Ketika terjadi wabah di Wuhan, kami berdiskusi dengan pemerintah pada Januari 2020. Namun, ilmuwan di Inggris mengatakan bahwa hal itu masih jauh, karena kami belum mendapatkan data mengenai tingkat penyebaran virus tersebut. Selain itu, kami juga tidak memprediksi bahwa penyebarannya sedemikian cepat, walau sudah ada tanda-tanda pemberlakuan kuncitara (lockdown). Maka, Oxford memutuskan untuk membuat vaksin COVID-19, meski Oxford bukan institusi yang menargetkan pembuatan vaksin untuk pandemi, melainkan vaksin untuk negara berkembang, seperti malaria, rabies, dan HIV (Human Immunodeficiency Virus),” jelasnya.
Namun, Oxford sudah memiliki teknologinya. Institusi ini juga pernah membuat vaksin yang mirip dengan vaksin COVID-19, dengan virus bernama Middle Eastern Respiratory Syndrome (MERS). Vaksin tersebut sudah memasuki uji klinis kedua dan data-data yang dihasilkan sangat positif. 
Dengan adanya perubahan aktivitas dari pembuatan vaksin rabies ke vaksin COVID-19, Dr. Carina pun bertanya ke supervisor-nya, siapa saja yang akan bergabung dengan dirinya di dalam tim. Ia tidak menyangka kalau ia akan mendapatkan jawaban bahwa hanya dialah yang berada di tim itu. Artinya, hanya ia seorang yang akan tetap berada di dalam laboratorium dalam jangka waktu yang belum dapat ditentukan, untuk mengerjakan proses pengembangan vaksin COVID-19 berskala besar.
“Respons saya ke beliau waktu itu adalah you are crazy, this is impossible, karena menurut pengalaman para ilmuwan yang mempunyai latar belakang di bidang industri, waktu paling cepat untuk pembuatan vaksin skala besar adalah dua sampai tiga tahun, dan ini dilakukan oleh sebuah kelompok yang terdiri dari tiga sampai empat anggota. Sementara tenggat waktu yang diberikan kepada saya hanya satu setengah bulan untuk membuat skala besar, yaitu dua ratus liter,” tegasnya.
Tidak ada pilihan lain, Dr. Carina pun mengerjakan bagiannya, walau harus selalu sendirian di dalam laboratorium, karena semua proyek lain dihentikan. Namun, memasuki bulan kelima, ia sempat menyerah dan menyatakan ingin keluar dari proyek tersebut. 
Mendengar hal itu, supervisor-nya mengajak ia berbicara secara pribadi melalui telepon. Dalam perbincangan tersebut, Dr. Carina mengungkapkan sekali lagi bahwa ia ingin berhenti dan ingin pulang saja. Ia juga menyampaikan beberapa alasan, termasuk perihal jam kerja yang sangat panjang, yaitu delapan belas jam sehari, tujuh hari dalam seminggu. 
“Katanya saat itu, oke, kamu di rumah saja, tapi kamu tahu kondisi yang sedang terjadi. Kalau kamu berhenti, proyek akan berhenti, tidak ada yang bisa menggantikan, artinya tidak ada vaksin yang akan masuk uji klinis,” ujarnya menirukan perkataan sang supervisor.
Kemudian, kepada dirinya juga disampaikan tiga hal penting. Pertama, ilmuwan menjalani studi dalam waktu yang lama, riset pun memakan waktu puluhan tahun. Semuanya dilakukan untuk menghadapi masa-masa sulit seperti pandemi. Kedua, teknologi vaksin Oxford cukup bagus, karena punya banyak data untuk bisa lolos uji klinis fase ketiga. Jadi, vaksin ini memiliki kesempatan untuk diberikan kepada masyarakat dalam waktu singkat. Ketiga, banyak orang telah meninggal akibat COVID-19. Untuk hal yang ketiga ini, Dr. Carina mengaku tidak dapat memberikan argumentasinya. Oleh karena itu, ia hanya meminta waktu untuk beristirahat selama satu hari, agar esoknya bisa kembali bekerja seperti biasa. 
“Jadi walau saya down saat itu, saya harus bisa mengingat kembali motivasi awal, kenapa saya memilih jalan sebagai ilmuwan, yaitu untuk membantu orang lain. Saya tidak bisa mundur untuk kenyamanan sendiri,” tegasnya.   
   
Pesan Dr. Carina
Pengalaman dan prestasi yang dimiliki, tidak lantas membuat Dr. Carina menjadi seseorang yang tinggi hati. Kepada RS UKRIDA, ia bahkan bersedia menyempatkan diri untuk menjawab sejumlah pertanyaan, untuk mengungkapkan sudut pandangnya mengenai perkembangan ilmu pengetahuan, riset, dan teknologi di tanah air. 
Menurutnya, perkembangan ilmu pengetahuan, riset, dan teknologi di Indonesia hingga saat ini menunjukkan tren yang positif. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator, antara lain peningkatan jumlah peneliti dan lembaga riset. Jumlah peneliti di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2023, jumlah peneliti di Indonesia mencapai 180 ribu orang, dengan lima puluh persen di antaranya adalah peneliti aktif. Selain itu, jumlah lembaga riset di Indonesia juga terus bertambah, baik lembaga riset pemerintah maupun swasta.
“Indikator ketiga adalah peningkatan jumlah publikasi ilmiah. Jumlah publikasi ilmiah Indonesia di jurnal internasional juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2023, Indonesia berhasil mempublikasikan lebih dari dua puluh ribu artikel ilmiah di jurnal internasional,” ujarnya.
Kemudian, adanya peningkatan jumlah paten. Jumlah paten yang diajukan oleh Indonesia juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2023, Indonesia berhasil mengajukan lebih dari seribu paten.
Meski demikian, masih terdapat beberapa tantangan yang perlu dihadapi dalam pengembangan ilmu pengetahuan, riset, dan teknologi di Indonesia, seperti kurang memadainya pendanaan riset. 
“Dana riset di Indonesia masih terbilang rendah, yaitu sekitar 0,08 persen dari GDP (Gross Domestic Product). Hal ini tentu menjadi kendala dalam pengembangan riset yang berkualitas. Kedua, kurang baiknya ekosistem riset. Ekosistem riset di Indonesia masih belum memadai, terutama dalam hal kolaborasi dan transfer teknologi. Hal ini perlu diperbaiki untuk meningkatkan daya saing riset Indonesia di tingkat global,” jelasnya.
Terakhir adalah kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Masih banyak masyarakat yang belum menyadari pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pembangunan bangsa. Hal ini perlu diubah agar masyarakat dapat berperan aktif dalam pengembangan ilmu pengetahuan, riset, dan teknologi.
Tantangan-tantangan ini sudah seharusnya mendapatkan perhatian dari pemerintah, mengingat Indonesia memiliki potensi yang baik untuk semakin maju di bidang ilmu pengetahuan, riset, dan teknologi, seperti yang diungkapkan oleh Dr. Carina. 
“Beberapa faktor pendukung yang dimiliki Indonesia yaitu populasi yang besar, kekayaan sumber daya alam/ SDA, dan kemajuan teknologi. Dengan populasi yang besar, Indonesia berpotensi untuk menghasilkan sumber daya manusia/ SDM yang berkualitas di bidang ilmu pengetahuan, riset, dan teknologi. Lalu dengan kekayaan SDA, ini dapat dimanfaatkan untuk mendukung pengembangan riset dan teknologi. Dengan teknologi yang berkembang pesat, ada peluang bagi rakyat Indonesia untuk memanfaatkan teknologi tersebut, demi peningkatan daya saing,” paparnya. 
Ia menambahkan, ada beberapa contoh potensi Indonesia di bidang ilmu pengetahuan, riset, dan teknologi, di antaranya kedokteran, teknologi pangan, teknologi energi, dan teknologi transportasi.
“Di bidang kedokteran, Indonesia memiliki beberapa ahli yang telah berhasil melakukan penelitian dan pengembangan dalam pengobatan kanker, penyakit menular, dan kesehatan reproduksi. Di bidang pangan, Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan teknologi pangan yang inovatif demi peningkatan ketahanan pangan nasional. Di bidang energi, Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan teknologi energi terbarukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil. Lalu di bidang transportasi, Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan teknologi transportasi yang lebih efisien dan ramah lingkungan,” jelasnya lagi.
Terkait RS UKRIDA yang sedang berproses untuk menjadi rumah sakit pendidikan, ilmuwan muda berprestasi ini mengatakan supaya RS UKRIDA perlu memfokuskan diri pada beberapa hal berikut, yaitu kualitas pelayanan, SDM, fasilitas dan peralatan, serta kerja sama. 
Menurutnya, rumah sakit pendidikan harus memberikan pelayanan yang berkualitas kepada pasien, baik dari segi medis maupun non-medis. Hal ini penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat dan meningkatkan reputasi rumah sakit. Kedua, rumah sakit pendidikan harus memiliki SDM yang berkualitas, baik dari segi tenaga medis, keperawatan, maupun non-medis. SDM yang berkualitas akan dapat memberikan pelayanan yang berkualitas kepada pasien dan mendukung kegiatan pendidikan dan penelitian.
“Ketiga, rumah sakit pendidikan harus memiliki fasilitas dan peralatan yang memadai untuk mendukung kegiatan pendidikan dan penelitian. Fasilitas dan peralatan yang memadai akan dapat meningkatkan kualitas pendidikan dan penelitian yang dilakukan di rumah sakit. Keempat, rumah sakit pendidikan harus menjalin kerja sama dengan institusi pendidikan, lembaga penelitian, dan organisasi profesi kesehatan. Kerja sama ini akan dapat meningkatkan kualitas pendidikan dan penelitian yang dilakukan di rumah sakit,” ujarnya mengakhiri wawancara dengan RS UKRIDA.*

Penulis Theresia J Christy Foto Sutamijaya
 


RS UKRIDA dinaungi oleh PT Upadana Krista Dipta Arjasa
Jl. Arjuna Utara No. 7G, Jakarta Barat